Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam (1)
Artikel bersambung ini disalin dari bagian buku ‘Gerilya Salib di Serambi Mekkah’ (Rizki Ridyasmara, 2006) dan telah dimuat di eramuslim pada awal Februari 2016 dan sekarang kembali menemukan relevansinya dengan isu Aceh terkait wacana referendum yang dikemukakan Muzakir Manaf atau Mualim, tokoh sentral NAD. Hal ini menimbulkan pro dan kontra, Sebelum kita menilai hal itu akan jauh lebih baik kita mengetahui dan memahami terlebih dahulu sejarah NAD yang benar, agar bangsa ini tidak melupakan sejarahnya sendiri, agar bisa lebih arif bijaksana, agar tidak lagi tertipu dengan pencitraan, dan agar bisa menyadari jika negeri besar ini sekarang diambang kehancuran disebabkan keserakahan, sifat korup, dan–meminjam istilah Julien Benda–Pengkhianatan Kaum Intelektualnya. Silakan simak:
***
Aceh adalah negeri Islam. Adat istiadat masyarakatnya tidak bisa lepas dari syariat Allah SWT. Kitab suci Al Qur’an merupakan hukum tertinggi di seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam yang diterjemahkan dalam Qanun Meukuta Alam, Konstitusi Kerajaan Aceh Darussalam. Belasan abad sebelum perampok Eropa seperti Vasco da Gama, Christopher Colombus, dan Ferdinand Magellhaens lahir, cahaya Islam telah menyinari tiap jumput tanah Aceh dengan kemilaunya.
Dari wilayah di ujung utara pulau Sumatera inilah Islam merambah ke seluruh Nusantara hingga rangkaian pulau dan kepulauan di zamrud khatulistiwa ini sekarang dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Sebab itu, Aceh Darussalam juga disebut sebagai Serambi Mekkah (Seuramoë Makah).
Peter Bellwood[1], Reader in Archaeology di Australia National University, yang telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara, menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Dalam catatan kakinya[2] Bellwood menulis,
“Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Menurut Bellwood, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulis. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno yang berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Tibbetts meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi.[3]
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha SriwijayaDisebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).[4]
Temuan ini diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.[5]
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi!.[6] (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
————————
[1] Peter Bellwood, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Gramedia, 2000. Judul asli “Prehistoriy of the Indo-Malaysian Archipelago”, Academic Press, Sidney, 1985. Buku ini merupakan salah satu hasil riset Bellwood yang menjadi pegangan peneliti dunia tentang catatan arkelogis Polynesia dan Asia Tenggara.
[2] Ibid, hal.455.[3] G.R. Tibbetts, Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt.3, 1956, hal.207. Penulis Malaysia, Dr. Ismail Hamid dalam “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” terbitan Pustaka Al-Husna, Jakarta, cet.1, 1989, hal.11 juga mengutip Tibbetts.
[4] Kitab Chiu Thang Shu, tanpa tahun.
[5] Prof. Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996; Hal.4-5.
[6] Harian Kompas: Akhir Perjalanan Sejarah Barus (1 April 2005)
Komentar
Posting Komentar