Heroisme Pasukan Para Janda dari Aceh
Kesultanan Aceh belum lama berdiri ketika Portugis menaklukkan Malaka pada 1511. Kesultanan ini secara bertahap menjadi kuat di semenanjung Sumatra pada paruh pertama abad ke-16. Kala itu, lada Sumatra laku keras di pasaran Tiongkok dan Eropa. Hubungan dengan pedagang dari pesisir laut merah pun segera terjalin. Ini membawa keuntungan bagi Kesultanan Aceh.
Portugis melihat itu sebagai ancaman, sementara sultan-sultan Aceh menilai Portugis sebagai lawan. Perang pun tak terelakkan. Aceh menyerang Malaka pada 1537, 1547, 1567, 1574, dan 1629. Dalam peperangan itu, Aceh menyertakan armada perempuan. Orang Portugis agak canggung dibuatnya. Tapi, tak ada pilihan: mereka harus berperang melawan para perempuan. Inilah tilas mula keperkasaan perempuan Aceh.
Kesertaan perempuan Aceh ditemukan dalam perang tahun 1567 walau belum berhimpun dalam kesatuan khusus. Jennifer Dudley, mahasiswi doktoral Universitas Murdoch, menyebut perempuan-perempuan itu bergabung ke dalam pasukan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. “Mereka menemani suaminya berperang, sementara sisanya adalah janda atau tunangan dari prajurit yang gugur dalam perang sebelumnya,” tulis Dudley dalam “Of Warrior Women, Emancipiest Princesses, ‘Hidden Queens’, and Managerial Mothers..
Bersandar kepada catatan yang ditemukannya, Dudley tak menampik peran perempuan dalam perang. Sebab, selama ini, kiprah prajurit perempuan dalam sejarah Indonesia lebih banyak bersandar pada mitos, bukan catatan sejarah. Dudley mengakui hal itu lantaran kurangnya sumber tulisan tepercaya tentang riwayat perempuan-perempuan Aceh. Dalam makalahnya, Dudley menggambarkan mereka “bertarung dengan berjalan kaki dan menunggang kuda atau gajah.” Namun, Dudley tak menerangkan dari mana keahlian itu diperoleh.
Komentar
Posting Komentar